BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan adalah undang-undang yang dibuat oleh pemerintah guna pengaturan, pembinaan dan pengawasan di bidang pangan. Secara garis besarnya undang-undang ini dibuat dengan tujuan untuk ;
1. Menjamin tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia.
2. Menjamin terciptanya perdagangan yang jujur dan bertanggung jawab.
3. Menjamin terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Ada segudang aturan yang termuat dalam berbagai pasal yang memberi rambu-rambu bagaimana suatu bahan pangan diproduksi dan diperdagangkan. Akan tetapi, seiring dengan kemajuan zaman (seperti perkembangan teknologi pangan, ilmu pangan dan pola pikir manusia), maka ada baiknya kalau UU No.7 Tahun 1996 Tentang Pangan ini perlu direvisi atau diganti dengan undang-undang baru yang terupdate atau sejalan dengan perkembangan zaman. Lagipula umur undang-undang ini telah cukup lama yaitu sekitar 13 tahun, sehingga diperlukan penyegaran.
Oleh karena hal tersebut di atas, perlu adanya berbagai masukan atau kritik dan saran yang berasal dari berbagai lapisan masyarakat terutama dari mahasiswa, karena pola pikir mahasiswa bersifat lebih kritis terhadap berbagai persoalan bangsa termasuk soal pangan.
Bertolak dari hal tersebut, maka dalam makalah ini akan dipaparkan sedikit banyaknya tentang kritik saran yang berasal dari pemikiran mahasiswa terhadap Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini yaitu ;
1. Memaparkan beberapa pasal dalam undang-undang pangan yang dirasa kurang sesuai dengan perkembangan zaman dan mengkritisinya.
2. Memaparkan beberapa pasal dalam undang-undang pangan yang kurang berpihak terhadap rakyat dan mengkritisinya.
3. Memberi saran akan penambahan beberapa aturan yang menyangkut tentang pangan tetapi belum termuat dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.
BAB II PEMBAHASAN
A. Bagian Pertama
Melalui UU Nomor 11 Tahun 2005, pemerintah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial Budaya (Kovenan Ekosob). Kovenan ini antara lain berisi tentang tanggung jawab negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan bagi rakyatnya. Dengan kata lain, masalah pangan merupakan hak asasi manusia yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Konsekuensi dari ratifikasi itu adalah pemerintah harus mengubah semua produk undang-undang yang tidak selaras dengan ketentuan Kovenan Ekosob.
Dapat dilihat dari pembukaan undang-undang pangan disebutkan “bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional”. Berdasarkan hal terebut dapat dicermati bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia bukan merupakan hak asasi manusia. Dan dapat dicermati bahwa pemenuhan pangan bagi rakyat merupakan hak asasi tiap rakyat dan negara tidak bertanggungjawab akan hal itu, sedangkan dalam Kovenan Ekosob disebutkan bahwa pemenuhan pangan menjadi tanggung jawab negara.
Dilihat dari perspekif Kovenan Ekosob, UU Pangan jelas belum memenuhi tuntunan kovenan itu bahwasanya masalah pangan merupakan hak asasi manusia yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara, mengingat UU ini dibuat jauh sebelum UU No. 11/2005 diratifikasi.
Meski penting untuk mempertanyakan mengapa sejak tahun 2005 hingga kini belum dilahirkan UU Pangan yang senapas dengan Kovenan Ekosob, hal yang lebih penting adalah bagaimana agar dapat dilahirkan UU Pangan baru yang memenuhi tuntutan hak atas pangan dan menegaskan komitmen pemerintah dalam memenuhi hak atas pangan bagi masyarakat.
Seperti diketahui, UU No. 7 tahun 1996 “menghilangkan” kewajiban dan tanggung jawab negara dalam pemenuhan hak atas pangan yakni dengan memberikan sebagian beban kewajiban itu kepada masyarakat. Hal ini tertuang dalam pasal 45 yang berbunyi “Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan”. Hal yang perlu dikritik adalah pelimpahan tanggung jawab atas ketersediaan pangan kepada masyarakat. Jika masyarakat juga harus bertanggung jawab atas kecukupan pangan, hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan 16,8% penduduk miskin yang tidak mampu mencukupi dirinya sendiri.
B. Bagian Kedua
Dalam konteks yang kedua ini, dalam UU No.7/1996 Tentang Pangan belum ada sederet aturan yang mengatur tentang perlindungan terhadap petani maupun nelayan.
Perlunya aturan yang mengatur tentang perlindungan terhadap petani maupun nelayan, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwasanya petani/nelayan adalah produsen pangan atau orang yang berperan penting dalam menyediakan bahan baku pangan.
Selain itu, perlunya perlindungan terhadap petani selaku produsen pangan ini didasarkan pada sejumlah kenyataan yang ada seperti kondisi pertanian Indonesia yang semakin menurun, terjadinya perubahan iklim dan perkembangan energi alternatif biofuel yang menimbulkan kekhawatiran semakin langkanya pangan.
Jika UU No.7/1996 Tentang Pangan mengatur juga tentang perlindungan terhadap petani/nelayan, maka pemerintah tidak akan khawatir akan ancaman ketahanan pangan karena petani/nelayan akan siap sedia menyediakan bahan baku pangan guna memenuhi kebutuhan pangan hajat hidup orang banyak.
C. Bagian Ketiga
Dalam konteks yang ketiga ini, dalam UU No.7/1996 Tentang Pangan belum ada sederet aturan yang mengatur tentang penanganan limbah industri pangan.
Perlunya aturan yang mengatur tentang penanganan limbah industri pangan, hal ini dikarenakan pada kenyataan bahwa banyak sekali industri kecil, menengah maupun besar yang membuang limbah produksi pangan ke lingkungan atau perairan tanpa terlebih dahulu dilakukan treatment atau pengolahan limbah terlebih dahulu. Jika banyak limbah produksi pangan yang dibuang secara langsung ke perairan mengalir maka akan terjadi pencemaran air sehingga ketersediaan air bersih menjadi berkurang, hal ini dapat menjadi ancaman yang serius.
Aturan tentang penanganan limbah industri pangan yang dimaksud misalkan seperti penggunaan IPAL (Instalansi Pengolahan Air Limbah). Dengan adanya penggunaan IPAL di setiap industri pangan maka akan meminimalisir pencemaran perairan oleh limbah produksi pangan sehingga ketersediaan air bersih tetap berlimpah.
Untuk lebih lengkap mengenai pasal-pasal yang dikritisi yaitu sebagai berikut:
A. Pasal 10 ayat 1
Dalam UU Pangan disebutkan dalam pasal 10 ayat 1 yaitu “Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan barang apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan”.
Hal yang dikritisi yaitu setiap orang disini bukan hanya memproduksi, tetapi juga merencanakan dan membuat prosedur produksi.
B. Pasal 13 ayat 1
Dalam UU Pangan disebutkan dalam pasal 13 ayat 1 yaitu “Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan”.
Hal yang dikritisi yaitu tidak hanya produksi tetapi juga perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan audit (pemeriksaan hasil).
C. Pasal 20 ayat 2
Dalam UU Pangan disebutkan dalam pasal 20 ayat 2 yaitu “Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar pangan tersebut terlebih dahulu diuji secara laboratoris sebelum peredarannya”.
Hal yang dikritisi yaitu untuk pengujian secara laboratories tidak hanya dilakukan sebelum produk diedarkan, tetapi seharusnya secara berkala.
D. Pasal 24 ayat 2
Dalam UU Pangan disebutkan dalam pasal 24 ayat 2 yaitu “Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat memberlakukan dan mewajibkan pemenuhan standar mutu pangan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Hal yang dikritisi yaitu pemerintah seperti kurang tegas dalam memberlakukan dan mewajibkan pemenuhan standar mutu pangan tertentu, sehingga banyak sekali skandal yang terjadi dalam industry pangan. Pemerintah seharusnya bersikap tegas akan hal itu.
E. Pasal 45 ayat 1
Dalam UU Pangan disebutkan dalam pasal 45 ayat 1 yaitu “Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan”.
Hal yang dikritisi yaitu tidak hanya pemerintah dan masyarakat saja yang bertanggung jawab, akan tetapi badan usaha juga harus bertanggung jawab dalam mewujudkan ketahanan pangan.
BAB III Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa UU No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan perlu dilakukan revisi, terutama tentang :
1. Masalah pangan merupakan hak asasi manusia yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab Negara.
2. Tentang perlindungan terhadap petani/nelayan.
3. Aturan penanganan limbah industri pangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar